hihihihihihihihihihihi…
pagi-pagi disapa teman dengan gegap gembita dan hanya untuk sharing dua video duo sakit jiwa. dan walhasil, sampai sekarang pun aku masih ketawa gila-gilaan hingga sakit perut gini =))
sebentar, mau nerusin ketawa ngakaknya dulu…
ok, i’m back 😀
last night, actually it’s been started since a month ago, more or less yak and last night a dear friend of mine sent me a short message that said, “imas, inget nomor asing yang kemaren dulu aku tanyakan? itu ternyata si Ex-ku lhoh tapi enggak mau ngaku gitu.”
– hee? eks-mu itu? lha dulu ngakunya kanca kuliah? hehe… lek eks-mu kenapa berbelit gitu yak? apa susah dan apa salahnya untuk menyapa, “hai, ini aku.” dengan gentlemen gitu 😀
+ soale pasti aku cuekin krn dia masih mengharapkan aku so aku mesti berhati-hati……
– bukannya dia juga sudah berkeluarga?
+ iyo, sudah punya anak juga
– hah? heran!
kasus lainnya,
a friend mencoba untuk berkomunikasi lagi denganku. amazingly, the way he responds all my actions (yup, dalam hidup yang penuh klausa sebab-akibat, dengan positifnya aku menempatkan diriku sebagai sebab dan dia sebagai akibat. padahal sebenernya tidak bisa sepositif dan se-sakleg gitu, bukan?) memberikan kesan akan kekagetannya atas aksiku dan “perkenanku untuk membuka diri”, bahwa aku mau untuk beraksi dan menerima responsnya tersebut.
dan sikap darinya tersebut, semua ucapannya yang baginya mungkin bermaksud untuk memberikan pujian dan rasa terima kasih atas perkenanku (aduh! bahasaku! 😛 ), aku merasa sebagai suatu sikap yang fake aja.
bukan fake atas rasa terima kasihnya karena aku menyambut dengan baik niat baiknya tersebut tapi apa ya… secara kronologis mungkin akan membantuku menjelaskan apa yang aku pikir dan rasa mungkin ya?
ok, gini,
+ salam
– ya, saya?
+ alhamdulillah mau disapa… (timbul satu kernyitan di dahiku)
lalu, mendadak saja listrik di kantor mati, so i’m off the line for a while. dan ketika akhirnya nyala dan aku sign in yahoo messenger lagi, ada beberapa offline messages, dan dari teman itu adalah:
+ kok off? masih belum siap ya?… (timbul lagi satu kernyitan di dahiku, total ada 2 kernyitan, bukan?)
– sorry, listrik off barusan.
setelah itu kita ngobrol. sebenernya ada beberapa kali lagi di mana kernyitan di dahiku bertambah satu per satu tapi masalahnya aku lupa apa aja itu dan untuk melihat log chatku dengannya, aku takut karena kompiku pasti hang seperti yang telah terjadi barusan ini =)).
i might be wrong ya karena sudah berasumsi sejelek itu dan karena sudah mengijinkan kernyitan-kernyitan tersebut timbul di dahiku karena seharusnya aku mengerti dan memahami kesulitannya untuk having that good attitude untuk menyapaku setelah i put him under restriction sign dan oleh karena itu, i should appreciate him for what he did, rite?
ok, bagaimana kalau percakapan di atas menjadi seperti ini (tentu dengan tujuan menghilangkan kernyitan di dahiku):
+ salam
– ya, saya?
+ maaf ya, aku memaksa ngobrol denganmu. aku takut dosa jika benar-benar memutuskan hubungan komunikasi jika diam saja. ga apa2 kan?
in this phase, ada dua kemungkinan jawabanku untuk pertanyaan tersebut, “ya, tidak apa-apa” atau “bukankan aku sudah meminta kamu untuk tidak menghubungiku lagi? apa susahnya siyh?”. dan untuk perkara responsku ini, bukankah ini resiko yang harus dia tanggung dan dia hadapi? i could be as nice as an angel could be dengan menjawab, “ya, tidak apa-apa” or i could be as bad as a devil could be dengan menjawab “maaf, ini siapa ya?”, hahahahhahaha…
kenapa aku mengharapkan dia untuk berkata, “maaf ya, aku memaksa ngobrol denganmu. aku takut dosa jika benar-benar memutuskan hubungan komunikasi jika diam saja. ga apa2 kan?”
karena setidaknya ada kejujuran di situ. kejujuran gimana?
dengan memilih kata-kata tersebut, dia mengakui bahwa dia memaksa membuka obrolan tersebut dan dia stick to a reason yang selama ini dia pegang yaitu tentang menjaga silaturahmi tersebut.
di sisi lain, dengan pemilihan kata-kata tersebut, dia juga mengakui bahwa we both are strong enough untuk membuka diri.
tidak dengan malah meresponsku dengan pemilihan kata, “alhamdulillah, mau disapa.”
kenapa dengan responsnya tersebut aku malah mengernyitkan dahiku?
entah ya, yang jelas aku menangkap kesan adanya suatu misperception mengenai niatku untuk menjauh dan tidak melibatkan diri dalam kehidupannya serta what he called dengan “tidak menjaga tali silaturahmi” dengannya.
what is wrong dengan tidak mau disapa?
hihihihihihihihihihi…
lalu ditambah dengan kalimat “masih belum siap ya?”
buwahahahahahahhahaha…
kenapa gitu harus merespons seperti itu? frankly speaking, i laughed. yeap, aku tertawa keras waktu itu dan it felt so (ini so-nya diucapkan dengan tambahan berbanyak o dan dengan gaya yang amat sangat lebay yak 😀 ) funny at that time.
out of the box ya, i’m off and it happens suddenly, berpikirlah luas and please get use to that out of the box idea tapi kenapa harus merespons ke-off-anku yang mendadak dengan, “masih belom siap ya?”
hihihihihihihihihihihihihihi…
satu hal, aku masih merasa adanya misperception yang sama. tapi ya, like i care gituh 😀
hal kedua, bukankah jika memang aku belum siap (whatever it means 😀 ) maka itu adalah resikonya? dan kalau memang sudah resikonya, kenapa masih mempertanyakannya?
hal ketiga, gag gentle bangeud seeehhh! i mean, dari awal sapaan hingga akhir sapaan penutup, betapa banyak kalimat-kalimat ambigu yang bertindak sebagai jalan keluar dan penyelamat. bingung?
haha, mungkin memang perlu untuk bercakap-cakap secara langsung dengan pelaku masing-masing supaya mengerti, bukan?
eh, eh… masih queen of queen of … dramaqueen banget yak? hihihihihihihihihihihihihi 😛
anyway, semua ini juga cuman kupikir pas kejadian tersebut sahaja dan meskipun aku bilang bahwa aku mengernyitkan dahiku berulang kali tapi dalam lebih banyak kesempatan aku pun tertawa meskipun dengan kerutan di dahi siyh 🙂 .
jadi obrolan ringan tersebut sudah aku lupakan dan tidak aku permasalahkan walopun pada kenyataannya pelajaran dari obrolan tersebut ternyata masih tersimpan di dalam alam bawah sadarku sehingga ketika ada satu pemicu yang mana adalah sms temanku mengenai eks-nya yang semalam aku terima membuat semua pelajaran tersebut timbul di otakku yang kacau balau dan masih mengalami kerusakan parah ini 😛 .
eh, eh, aku bilang aku banyak tertawa pas ngobrol dengannya? berarti bahagia bisa ngobrol dengannya gituh?
hahahaha… plis deyh, tell me what bahagia is baru aku bisa menjawab pertanyaan tersebut. lagian jika karena tertawa saja dan lalu dikaitkan dengan kebahagiaan akibat bisa ngobrol dengannya, hm… pendek sekali pemikiran seperti itu 🙂 .
tapi jujur yak, not a big deal and not even a small-tiny problem for me mengenai apapun mispersepsinya, maupun apapun tanggapan setelah membaca entry ini karena bukankah i dont have any control to your mind and brain? and vice versa of course.
karena obrolan dengan a dear friend of mine semalam melalui pihak ketiga bernama handphone aja aku jadi teringat akan hal ini.
apa hubungannya? apa pemicu? dan apa kaitannya antara kasus teman dan kasus di atas ini?
hmm…
para eks itu,
kenapa mempersulit komunikasi ini?
kalau memang respek terhadap kami, tentunya juga akan menghargai permintaan kami untuk gag usah menghubungi lagi (gag peduli apapun alasan permintaan ini ya), bukan?
kalau memang respek terhadap kami tapi merasa ada yang salah dengan permintaan kami (yang bisa terjadi karena tidak mengerti dan tidak paham serta tidak mau mendengar apapun alasan dari permintaan tersebut dan tetap dengan childishnya menganggap permintaan tersebut HANYALAH suatu akibat dari sakit hati aja), then please, go a head and say hi to us. but please, behave!
kenapa harus menyapa lewat sms dan menyembunyikan identitas aseli padahal dari suara, logat dan akibat pancingan cerdas temanku tersebut akhirnya terbuka juga identitas aseli si eks tersebut (walopun masih keukeuh disangkal juga).
kenapa juga merespons sambutanku dengan berlebihan gitu? it doesnt make any sense to me.
yeah, be gentle! kalo memang gag siap ditampar oleh kenyataan bahwa kita-kita masih tidak mau berhubungan apapun dan lebih memilih untuk “menanggung dosa akibat memutuskan tali silaturahmi” (oh, perlu aku ingatkan lagi tentang siapa yang berhak memutuskan berdosa tidaknya kita ini? sudah tahu, kan?) then dont do anything dan jangan menyapa kami.
ah, ngomong ini itu, pada dasarnya justru aku sendiri yang berlebihan bukan? 😛
just a reminder for myself aja siyh bahwa aku tidak suka orang-orang seperti di atas, yang tidak gentle dalam bersikap dan lebih sering bersikap lari dan berlindung ketika datang saatnya menanggung resiko, jadi semoga aku juga teringat selalu untuk tidak menjadi seperti mereka ini. amien!
anyway, si aki yang dulu ketemu dan kenalan di stasiun sawojajar pas periode naek komuter dulu, kemaren lagi-lagi datang ke kantor. dan begitu beliaunya membuka gerbang kantor, aku yang akses pemindaiku tak terhalang bebas lepas ke gerbang langsung reflek menjerit dan ngumpet di bawah meja kerjaku (padahal juga gag akan keliatan siyh 😛 ) dan itu membuat para bapaks dan ibu yang ada satu ruangan denganku kebingungan.
untung si OB sudah aku kasih kode sebelumnya bahwa jika tamunya aki tersebut, maka selamanya bilang aja aku keluar kantor sementara si ibu yang dulu pernah jadi tamengku dalam menghadapi si aki tersebut pun akhirnya melihat kedatangan si aki dan tertawa ngakak aja.
dan tahukah kamu apa keperluan aki tersebut?
kata OB, “bapak tadi cuman bilang gini bu, bahwa besok bapak mau pergi ke Lampung, mohon doanya saja.”
aku berpikir, “eh, apa urusannya denganku yak?”
tobat dah!
oiya, barusan aku pasang logo hut RI ke 63 😀 *seneng*
selamat tertawa temans 🙂
oiya, satu quote menakjubkan dari seorang sahabat dalam urusan caci maki 😀
“mungkin karena dia lebih merasa senang dan bahagia jika dianggap sesuatu atau disamakan dengan sesuatu oleh cowok yang mana teori seperti itu gag masuk di kita kan bu?”
hahaha… luv you buw 😀
oiya lagi, plurk-ing? tumblr-ing? of kors punyalah! cewek gaul gituh 😀
oiya lagi, lagi! aku tau resiko dari entry ini, once i hit the publish button. dan i know i’m ready for it, whatever it is 🙂 .
drop me a line or two ;)