Memang, otak adalah tempat paling unique yang pernah ada. Bahkan aku hingga sekarang pun selalu terkaget-kaget setiap si otak mengutarakan ide-ide barunya,. Yah, walopun semakin lama semakin terbiasa akan adanya kekagetan-kekagetan tersebut siyh. Eh, ini narcis lagi yah? Hihihihihi……
Baiklah, mari kita membahas satu hal yang super duper tidak penting sama sekali.
It’s about relationship, mengenai berpasangan dan kali ini aku fokus ke pasangan yang sudah legal terikat atau dengan kata lain ”menikah”.
Akhir-akhir ini kan begitu banyak teman yang lebih berani mengambil keputusan dan bilang, ”YA!” dibanding aku, setidaknya dari awal tahun ini, dan mengingat usia pernikahan mereka masih seumur jagung yang juga bisa diartikan kehidupan pernikahan mereka sedang seneng-senengnya, penuh gejolak darah muda, hihihihi… membuat mereka mempunyai banyak cerita untukku. Ini satu kelompok ya…
Lalu kelompok lain adalah mereka-mereka yang usia pernikahannya sudah lebih dari 3 tahun.
Dan dari kedua kelompok tersebut, begitu sering aku temui tipikal percakapan yang hampir sama, tipikal respons yang serupa untuk aksi pertanyaanku yang berbeda-beda.
Contohnya:
– oi, bu/om… apa kabar? Ciyeee…. setiap pagi kenapa merah merona gitu mukanya? *muka jahil*
Atau untuk kelompok lainnya, yang seperti ini:
– Mas/Om/mbak/bu baik-baik saja? Kok hari ini rasanya beda dengan biasanya?
Dan ya, tipikal pertanyaanku tersebut selalu memancing jawaban yang akhirnya menggiring mereka untuk mencurahkan isi hati dan otak mereka ke aku.
Isi curhatan siyh macam-macam ya, ada yang berupa curahan curhat hati yang bener-bener out of my control, ada yang najis tralala, ada yang bener-bener membuat aku ikutan pusing, ada yang akhirnya hanya aku ketawain.
Tapi in the middle of curhat tersebut (atau bahkan di awal mereka curhat), selalu ada kata mutiara yang serupa tapi tak sama yang merupakan pesan sponsor untukku sebagai pendengar dan kadang sebagai advisor mereka.
Pesan sponsor seperti ini,
+ imas, masalah ini jangan sampai kamu sampaikan ke [nama pasangannya], ya?
Atau ketika aku tanya seperti ini, ”er… curhat seperti ini ke aku, benar-benar tidak apa-apakah? [nama pasangannya] tahu mengenai hal ini kah?”
Dan mostly (boleh dibilang 95%) jawaban mereka adalah bahwa pasangan mereka tidak tahu sama sekali ataupun jika tahu pasangan mereka hanyalah tahu secara overall saja tidak semendalam pengetahuan saya yang notabene hanyalah pendengar saja.
And that amazes me a lot!
Untuk sisi otakku yang hobi berpikir pendek, otak ini cuman teriak, “lhoh?! Trus buat apa nikah kalau masih saja tidak bisa bercerita mengenai hal senajis ini ke pasangan abadimu? Buat apa menikah kalau masih ada yang ditutupi? Buat apa menikah kalau tidak bisa menjadikan pasangan legal tersebut sebagai tempat bersandar.”
Sedangkan otakku yang dari awal dikaruniai bakat alamiah untuk berpikir panjang sekali berkata, “eh, emangnya nikah hanya untuk ini saja? Mungkin juga ada pertimbangan-pertimbangan lain yang membuat si pelaku ini memutuskan untuk tidak membicarakan secara mendetail ke pasangan legalnya seperti dia ke kamu. “
Dan otak absurdku yang menempati hampir 70% keseluruhan dari keberadaan satu benda bernama otak di tengkorak kepalaku berkata, “eh, plis deyh! Blom nikah jangan banyak omong deyh! Blom tau juga gimana kondisi mereka tokh? Salah sendiri selalu menempatkan diri sebagai tempat sampah mereka-mereka itu!”
Tapi ya, keberadaan otak yang berpikir pendek tersebut lumayan bisa membuat aku berpikir mengenai fungsi dari pasangan hidup siyh.
Maksudku, jika memang si pasangan tersebut tidak bisa kita jadikan tempat curhat untuk yang pertama kalinya, jika memang pasangan tersebut tidak bisa membuat kita bebas mengekspresikan kelemahan-ketakutan-ketidakbisaan-kekacauan hidup dan diri kita, jika memang pasangan tersebut tidak bisa memberi kenyamanan dan keyakinan bahwa it’s ok untuk cerita apapun ke dia, trus buat apa donk?
Menikah bukan hanya untuk hal-hal menyenangkan dan terlihat megah saja tokh?
Dalam paket menikah pun terdapat sisi gelap-lemah—kacau, bukan?
Dan tidak bisa pun bukan suatu hal yang memalukan, bukan?
Bukankah dalam pernikahan, once you said those i-do-thing, pada saat itu juga you begin to take each other for granted?
Jadi kenapa mereka selalu memberiku pesan sponsor tersebut ya? Karena sejauh ini pun isi curhatan mereka bukan tipikal perselingkuhan atau apapun yang bisa membuat mereka berpisah dari pasangan mereka.
Masalah ego kah?
Ego yang tidak mau dilihat sebagai sosok lemah dan tidak bisa menyelesaikan permasalahan?
Ego untuk selalu tampil mempesonah di hadapan pasangan, tidak peduli seberapa hancur hati dan otaknya?
Oh, well, sebelum aku membahas hal seperti ini, ada baiknya aku menikah dulu, bukan?
drop me a line or two ;)